Oleh
Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo,S.H.
Symposium
ini diadakan dalam rangkan menyongsong era hukum dalam repelita IV dengan tema
“Fungsi Notaris Dalam Pembangunan”.
Kepada
penulis makalah ini dibebani tugas untuk menyajikan makalah berjudul “Notaris
Dalam Hukum Perdata Nasional”.
Lembaga
notariat seperti kita ketahui semua telah ada sejak zaman hindia belanda dan
sampai sekarang lembaga tersebut tetap ada dan diperlukan adanya.
Apakah
fungsi notaries dalam pembangunan, khususnya yang berhubungan dengan hukum
perdata nasional?
Tugas
notaris seperti yang tercantum dalam pasal 1 Reglement op het Notarisambt (S
1860 no.3) adalah sebagai pejabat umum yang semata-mata diberi wewenang untuk
membuat akta otentik tentang semua perbuatan, perjanjian, dan penetapan yang
diharuskan oleh peraturan umum atau yang diminta oleh yang berkepentingan.
Orang
datang kepada notaris untuk dibuatkan akta. Pada umumnya membuat akta dianggap
meruapakan perbuatan yang mudah. Kegiatan notaris dianggap merupakan kegiatan
routine, sehingga tidak ada bedanya dengan tukang. Pada umumnya tugas notaris
ini diremehkan orang, dianggap ringan dan mudah karena “hanya membuat akta
otentik saja”. Hal itu dapatlah dikatakan merupakan pendapat umum, bahkan di
antara para notaris ada yang berpendapat demikian.
Dalam
kenyataannya tidaklah (seharusnya) demikian. Pekerjaan notaris tidak dapat
disamakan dengan tukang yang menjalankan tugas routine. Pekerjaan seorang
notaris tidaklah semudah dan sesederhana seperti yang dipikirkan orang.
Memang
pasal 1 tersebut menentukan bahwa tugas notaris adalah membuat akta otentik.
Tetapi tidak dijelaskan lebih lanjut tentang cara-caranya. Mungkin karena
itulah orang beranggap bahwa membuat akta itu merupakan kegiatan routine,
sehingga dianggap mudah.
Akta adalah surat resmi yang sengaja dibuat
sejak semula untuk pembuktian dikemudian hari, yaitu apabila terjadi sengketa
dan kemudian sampai menjadi perkara di pengadilan diajukan barang bukti dari
adanya suatu perbuatan hukum atau perjanjian.
Jadi akta otentik mempunyai funsi sebagi alat
bukti terutama di pengadilan, yaitu bukti adanya suatu perbuatan hukum atau
perjanjian. Perjanjian sendiri sudah sah apabila telah memenuhi persyaratan
mengenai sahnya perjanjian. Tetapi untuk sahnya surat sebagai alat bukti di
persyaratannya (lihat putusan MA 13 Maret 1971 no. 589 K/Sip/1970).
Dengan
demikian notaris harus menguasai hukum pembuktian perdata khusunya, hukum acara
perdata umumnya.
Isi
akta otentik adalh perbuatan hukum atau perjanjian, sehingga membuat akta
otentik pada hakekatnya adalah merumuskan perbuatan hukum atau perjanjian. Ini
merupakan kegiatan dalam bidang hukum perdata.
Apakah yang dimaksud
dengan hukum perdata nasional? Mengenai pergertian “hukum nasional” sendiri
belum ada persesuaian pendapat. Ada yang mengatakan bahwa hukum nasional adalah
hukum yang dihasil oleh pembentuk undang-undang nasional, jadi merupakan produk
nasional. Sudah tentu yang dimaksudkan disini adalah hukum dalam arti
keseluruhan peraturan perundang-undangan. Dewasa ini masih banyak peraturan
perundang-undangan yang berasal dari zaman penjajahan, sehingga menurut
pendapat ini belumlah dapat dikatakan bahwa sudah mempunyai (sistem) hukum
nasional.
Hukum tidak hany berupa
kaedah hukum atau perundang-undangan saja. Peraturan perundang-undangan harus
dilaksanakan. Dalam melaksanakan undang-undang sering diadakan penemuan hukum,
dan hasil penemuan hukum ini adalah hukum juga. Sejak 1945 dalam melaksanakan
hukum hakim harus berkeblat dan tidak boleh bertentangan dengan UUD dan
Pancasila. Peraturan perundang-undangan baik yang berasal dari zaman hindia
belanda maupun yang merupakan legislative nasional dilaksanakan sesuai dengan
UUD dan Pancasila. Dengan demikian pelaksanaan dan penemuan hukumnyadijiwai
oleh Pancasila. Dengan demikian pula maka hasil penemuan hukum yang merupakan
hukum juga berjiwa dan bersifat nasional. Jadi sejak 1945 kita telah mempunyai
hukum nasional.
Demikian pula dengan
hukum perdata yang berlaku sekarang adalah hukum perdata nasional, meskipun
sifatnya dewasa ini masih pluralistis : hukum perdata adat, hukum perdata islam
dan hukum perdata tertulis (BW). Meskipun hukum perdata tertulis (BW) itu
berasal dari zaman penjajahan, namun pelaksanaannya oleh hakim-hakim bangsa
Indonesia sejak 1945 disesuaikan dengan UUD dan Pancasila. Hukum hakim
(judge-made-law) yang merupakan hukum juga sejak 1945 sudah berjiwa nasional.
Dengan demikian maka hukum perdata tertulis (BW) itu termasuk hukum perdata
nasional.
Pada suatu saat
pluralisme dalam hukum perdata itu akan hapus karena proses akultulrasi.
Pertanyaan yang mungkin timbul ialah apakah materi hukum perdata adat dan hukum
perdata islam dapat dibuat akta oleh notaris?
Lalu lintas hukum makin
pesat. Hukum berkembang, kepastian hukum sangat didambakan dalam penegakan
hukum di samping keadilan dan kemanfaatan (doelmatigheid). Yang ideal ialah
bahwa dalam penegakan hukum itu tidak terlalu menitik beratkan kepada salah
satu. Terutama di pengadilan diperlukan pembuktian mengenai perbuatan-perbuatan
hukum atau perjanjian. Dengan makin banyak orang yang melek huruf maka acara
perdata di pengadilan makin banyak berlangsung secara tertulis. Surat atau akta
otentik akan lebih menyederhanakan dan memudahkan beracara di pengadilan. Maka
tidak ada keberatanya untuk dibuatkan aktanya mengenai materi hukum perdata
adat dan islam.
Apakah Tugas Notaris
dalam Hukum Perdata ?
Telah diketahui bahwa
tugas notaris adalah membuat akta, sedangkan membuat akta pada hakekatnya
adalah merumuskan perbuatan hukum atau perjanjian. Karena tugas notaris membuat
akta otentik tentang perbuatan hukum atau perjanjian, ia harus menguasai hukum
perdata. Tidak berlebih kalau dikatakan bahwa hukum perdata termasuk bidang
hukum yang yuridis sukar. Kalau hukum pidana itu pada hakekatnya dapatlah
dikatakan subsumptie, maka hukum perdata itu pada hakekatnya adalah penemuan
hukum.
Perlu diingat bahwa
kaedah hukum atau undang-undang seperti BW itu pada hakekatnya merupakan
pedoman belaka tentang perilaku manusia : siapa hutang harus melunasi
hutangnya, siapa membeli harus membayar harga barang. Sebagai pedoman
undang-undang itu sifatnya pasif, beku, “mati”, merupakan das sollen. Pedoman
itu dapatlah dikatakan tidak mempunyai arti kalau tidak terjadi suatu
peristiwa. Pedoman itu tidak hidup atau aktif kalau tidak terjadi peristiwa
konkrit. “ siapa membeli harus membayar” itu bunyi peraturan sebagai pedoman,
tetapi kalau tidak ada seseorang yang membeli sesuatu, maka dapat dikatakan
ketentuan itu tidak hidup. Undang-undang itu memerlukan terjadinya peristiwa
konkrit. Peristiwa konkrit itu akan mengaktivir undang-undnag : das sein akan
mengaktivir das sollen. Peristiwa konkrit yang masih “mentah” masih mengandung
unsure-unsur yang tidak relevant bagi hukum, oleh karena itu masih harus disaring,
diteliti dan diarahkan agar undang-undang yang bersangkutan dapat diterapkan
terhadap peristiwa konkrit tersebut. Disini dilakukan penemuan hukum.
Seorang client datang
pada notaris tidak lain untuk membuat aktnya mengenai perjanjian. Si client
pada umumnya tidak tahu atau tidak memperdulikan hukum atau peraturan. Si
client hanya mengemukakan kepada notaris peristiwanya yang masih “mentah”, baik
yang relevant untuk hukum maupun yang tidak. Ia mempercayakan kepada notaris
untuk dibuatkan aktanya dan hanya berkepentingan akan akibat hukumnya : ia
berkepentingan bahwa ia mendapat akta otentik tentang perbuatan hukum atau
perjanjian yang dikemukakan kepada notaris, ia berkepentingan agar kelak tidak
dirugikan oleh akta otentik yang dibuat oleh notaris. Apa yang dikemukakan oleh
client kepada notaris adalah peristiwa (das sein). Notaris harus memahami
peristiwanya dan jeli untuk dapat menemukan hukumnya : hubungan hukum apa yang
terdapat dalam peristiwa tersebut, sehingga ia kemudian dapat menerapkan
undang-undang atau pasalnya terhadap peristiwa tersebut.
Menemukan hukum tidak selamanya mudah karena
undang-undang itu tidak lengkap. Tidak ada undang-undang yang
lengkap-selengkap-lengkapnya. Untuk menemukan hukum notaris harus menguasai
metode penemuan hukum dan sumber penemuan hukum serta sistem hukum. Tidak
jarang terjadi ada sarjana hukum yang berpetualang di bidang hukum : mencoba menciptakan konstruksi-konstruksi
hukum baru atau menemukan hukum dengan menyimpang dari sitem hukum.
Jadi tidaklah cukup
bagi notaris hanya menguasai kaedah-kaedah hukum atau peraturan
perundang-undangan saja. Ia harus pula mahir dalam penemuan hukum. Ia harus
kreatif dan terampil menemukan hukumnya dari peristiwa yang dihadapkan
kepadanya. Tidak ada dua peristiwa yang sama. Peristiwa yang diajukan pada
umumnya selalu masih “mentah” dan menjadi tugas notarislah untuk menjaringnya
dan kemudian merumuskan menjadi peristiwa hukum. Penemuan hukum ini merupakn
pekerjaan yang tidak mudah. Di samping hakim, notaris adalah penemuan hukum
atau pencipta hukum. Akta yang dibuatnya berisi hukum yang ditemukan atau
diciptakannya dari atau berdasakan peristiwa yang diajukan oleh client padanya.
Apa yang dihasilkan dari penemuan hukum oleh notaris adalah penemuan hukum oleh
hakim. Sedangkan apa yang dihasilkan oleh ilmuwan sarjana hukum bukanlah hukum,
tidak mempunyai kekuatan mengikat sebagai hukum, melainkan ilmu.
Disamping harus
menguasai kaedah hukum atau peraturan perundang-undang yang bersangkutan dan
penemuan hukum notaris harus mendalami juga sistem hukum. Jangan sampai dalam
membuat akta atau melakukan penemuan hukum notaris menyimpang dari sistem
hukum. Harus diingat bahwa sistem hukum itu mengenal unsure-unsur, pembagian,
mempunyai sifat keajegan (konsistensi) lengkap dan mempunyai konsep-konsep
fundamental.
Jadi tidaklah tepat
kalau dikatkan bahwa tugas notaris itu mudah dan merupakan routine. Tugas
notaris dalam hukum perdata nasional adalah membuat akta dengan merumuskan
peristiwa hukum dari peristiwa konkrit yang masih “mentah” dengan jalan
penemuan hukum. Penemuan hukum bukanlah merupakan kegiatan routine, karena
tidak ada peristiwa yang sama dan untuk penemuan hukum diperlukan kreativitas.
Tugas itu harus disertai dengan pengetahuan tehnis, yaitu penguasa tentang
peraturan-peraturan, sistem dan penemuan hukum.
Pengetahuan tehnis
tersebut diatas harus pula disertai dengan sikap mental yang tinggi.
Yogyakarta, 17
Mei 1984